Notifikasi

Inilah Aturan dari Sistem Tanam Paksa

Sejak awal abad ke-19, pemerintah Belanda mengeluarkan biaya yang amat besar untuk membiayai peperangan, bagus di Negeri Belanda sendiri (pemberontakan Belgia) ataupun di Indonesia (terutamanya konfrontasi Diponegoro) sehingga Negeri Belanda mesti menanggung hutang yang amat besar.



Untuk menyelamatkan Negeri Belanda dari bahaya kebrangkrutan karenanya Johanes van den Bosch diangkat sebagai gubernur jenderal di Indonesia dengan tugas pokok menggali dana semaksimal mungkin untuk mengisi kekosongan kas negara, membayar hutang, dan membiayai perang.

Untuk menjalankan tugas yang amat berat itu, Van den Bosch mengonsentrasikan kebijaksanaannya pada peningkatan produksi tanaman ekspor. Oleh sebab itu, yang perlu dikerjakan adalah mengerahkan tenaga rakyat jajahan untuk menjalankan penanaman tanaman yang hasil-alhasil dapat laku di pasaran dunia secara paksa. Sesudah tiba di Indonesia (1830) Van den Bosch menyusun program sebagai berikut:
  1. Sistem sewa tanah dengan uang harus dihapus karena pemasukannya tidak
  2. banyak dan pelaksanaannya sulit.
  3. Sistem tanam bebas harus diganti dengan tanam wajib dengan jenis-jenis
  4. tanaman yang sudah ditentukan oleh pemerintah.
  5. Pajak atas tanah harus dibayar dengan penyerahan sebagian dari hasil
  6. tanamannya kepada pemerintah Belanda.

Aturan Tanam Paksa

Raja Willem tertarik serta setuju dengan usulan Van den Bosch, sehingga Van den Bosch diangkat sebagai gubernur jendral baru di Jawa. Setelah sampai di Jawa Van den Bosch segera mencanangkan sistem dan program tanam paksa.
Secara umum tanam paksa mewajibkan para petani untuk menanan tanaman-tanaman yang dapat diekspor di pasaran dunia. Rakyat kemudian diwajibkan membayar pajak dalam bentuk barang sesuai dengan hasil tanam yang ditanam oleh petani. Secara rinci ketentuan-ketentuan tanam paksa sesuai yang termuat pada lembaran Negara (Sttatsblad) Tahun 1834 No. 22 adalah sebagai berikut:
  1. Penduduk menyediakan sebagian dari tanahnya untuk pelaksanaan tanam paksa.
  2. Tah pertanian yang disediakan penduduk untuk pelaksanaan tanam paksa tidak boleh melebihi 1/5 dari tanah pertanian yang dimiliki oleh penduduk desa.
  3. Waktu dan pekerjaan yang diperlukan untuk menanam tanaman tanam paksa tidak boleh melebihi pekerjaan yang diperlukan untuk menanam padi.
  4. Tanah yang disediakan untuk tanaman tanam paksa dibebaskan dari pembayaran pajak tanah.
  5. Hasil tanaman yang terkait dengan pelaksanaan tanam paksa wajib diserahkan kepada pemerintah Hindia Belanda. Jika harga atau nilai hasil tanaman ditaksir melebihi pajak tanah yang harus dibayarkan oleh rakyat, maka kelebihannya akan dikembalikan kepada rakyat.
  6. Kegagalan panen yang bukan disebabkan oleh kesalahan rakyat petani, menjadi tanggungan pemerintah.
  7. Penduduk desa yang bekerja di tanah-tanah untuk pelaksanaan tanam paksa berada di bawah pengawasan langsung para penguasa pribumi, sedang pegawai-pegawai Eropa melakukan pengawasan secara umum.

Pelaksanaan Tanam Paksa

Menurut Van den Bosch pelaksanaan tanam paksa harus menggunakan organisasi desa. Oleh karena itu diperlukan factor penggerak, yakni lembaga organisasi tradisi desa yang dipimpin oleh kepala desa.
Penggerakan tenaga kerja dilakukan dengan cara melalui kegiatan sambatan, gotong royong, maupun gugur gunung. Dalam hal ini kepala desa tidak hanya sebagai penggerak tetapi juga sebagai penghubung dengan atasan dan pejabat pemerintah. Oleh karena itu kepala desa tetap berada di bawah pengawasan pamong praja.
Pelaksanaan tanam paksa tidak sesuai dengan peraturan tertulis. Hal ini telah medorong terjadinya tindak korupsi dari para pegawai dan pejabat yang terkait dengan pelaksanaan tanam paksa. Tanam paksa telah membawa penderitaan bagi rakyat, banyak rakyat yang jatuh sakit. Mereka dipaksa focus bekerja untuk tanam paksa, sehingga nasib diri sendiri dan keluarganya tidak terurus. Bahkan timbul bahatya kelaparan dan kematian di berbagai daerah.
Sementara seperti itu, pemerintah Belanda telah mendapatkan keuntungan yang besar dengan deberlakukannya tanam paksa. Belanda menikmati keuntungan di atas pendertiaan rakyat.

Isi Undang-Undang Agraria

Seiring dengan upaya pembaruan dalam menangani perekonomian di negeri jajahan, Belanda mengeluarkan berbagai ketentuan dan peraturan perundang-undangan, salah satunya adalah UU Agraria (Agrarische Wet) pada tahun 1870. Undang-undang ini mengatur tentang prinsip-prinsip politik tanah di negeri jajahan. Di dalam undang-undang itu dtegaskan antara lain:
  • Tanah di negeri jajahan di Hindia Belanda dibagi menjadi dua bagian. Pertama, tanah milik penduduk pribumi berupa persawahan, kebun, ladang, dan sebagainya. Kedua, tanah hutan pegunungan dan lainnya yang tidak termasuk tanah penduduk pribumi dinyatakan sebagai tanah milik pemerintah.
  • Pemerintah mengeluarkan surat bukti kepemilikan tanah.
  • Pihak swasta dapat menyewa tanah penduduk. Tanah-tanah pemerintah dapat disewa pengusaha swasta sampai 75 tahun. Tanah penduduk dapat disewa selama 5 tahun, ada juga yang disewa sampai 30 tahun. Sewa-menyewa tanah ini harus didaftarkan kepada pemerintah.

Dampak Terjadinya Tanam Paksa Di Indonesia

Berikut dibawah ini terdapat beberapa dampak terjadinya sistem tanam paksa di Indonesia, antara lain:

1. Dalam bidang pertanian

Culture stelsel menandai dimulainya penanaman tanaman komoditi pendatang di Indonesia secara luas. Kopi dan teh, yang semula hanya ditanam untuk kepentingan keindahan taman mulai dikembangkan secara luas. Tebu, yang merupakan tanaman asli, menjadi populer pula setelah sebelumnya, pada masa VOC, perkebunan hanya berkisar pada tanaman “tradisional” penghasil rempah-rempah seperti lada, pala, dan cengkeh.
Kepentingan peningkatan hasil dan kelaparan yang melanda Jawa akibat merosotnya produksi beras meningkatkan kesadaran pemerintah koloni akan perlunya penelitian untuk meningkatkan hasil komoditi pertanian, dan secara umum peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui pertanian. Walaupun demikian, baru setelah pelaksanaan UU Agraria 1870 kegiatan penelitian pertanian dilakukan secara serius.

2. Dalam bidang sosial

Dalam bidang pertanian, khususnya dalam struktur agraris tidak mengakibatkan adanya perbedaan antara majikan dan petani kecil penggarap sebagai budak, melainkan terjadinya homogenitas sosial dan ekonomi yang berprinsip pada pemerataan dalam pembagian tanah.
Ikatan antara penduduk dan desanya semakin kuat hal ini malahan menghambat perkembangan desa itu sendiri. Hal ini terjadi karena penduduk lebih senang tinggal di desanya, mengakibatkan terjadinya keterbelakangan dan kurangnya wawasan untuk perkembangan kehidupan penduduknya.

3. Dalam bidang ekonomi

Dengan adanya tanam paksa tersebut menyebabkan pekerja mengenal sistem upah yang sebelumnya tidak dikenal oleh penduduk, mereka lebih mengutamakan sistem kerjasama dan gotongroyong terutama tampak di kota-kota pelabuhan maupun di pabrik-pabrik gula.
Dalam pelaksanaan tanam paksa, penduduk desa diharuskan menyerahkan sebagian tanah pertaniannya untuk ditanami tanaman eksport, sehingga banyak terjadi sewa menyewa tanah milik penduduk dengan pemerintah kolonial secara paksa. Dengan demikian hasil produksi tanaman eksport bertambah, mengakibatkan perkebunan-perkebunan swasta tergiur untuk ikut menguasai pertanian di Indonesia di kemudian hari.
Akibat lain dari adanya tanam paksa ini adalah timbulnya “kerja rodi” yaitu suatu kerja paksa bagi penduduk tanpa diberi upah yang layak, menyebabkan bertambahnya kesengsaraan bagi pekerja. Kerja rodi oleh pemerintah kolonial berupa pembangunan-pembangunan seperti; jalan-jalan raya, jembatan, waduk, rumah-rumah pesanggrahan untuk pegawai pemerintah kolonial, dan benteng-benteng untuk tentara kolonial.
Di samping itu, penduduk desa se tempat diwajibkan memelihara dan mengurus gedung-gedung pemerintah, mengangkut surat-surat, barang-barang dan sebagainya. Dengan demikian penduduk dikerahkan melakukan berbagai macam pekerjaan untuk kepentingan pribadi pegawai-pegawai kolonial dan kepala-kepala desa itu sendiri.

Akhir Dari Tanam Paksa Di Indonesia

Sistem tanam paksa yang mengakibatkan kemelaratan bagi bangsa Indonesia, khususnya Jawa, akhirnya menimbulkan reaksi dari berbagai pihak, antara lain:

1. Golongan Pengusaha

Golongan ini menghendaki kebebasan berusaha. Mereka menganggap bahwa tanam paksa tidak sesuai dengan ekonomi liberal.

2. Baron van Hoevel
Ia adalah seorang missionaris yang pernah tinggal di Indonesia (1847). Dalam perjalanannya di Jawa, Madura dan Bali, ia melihat penderitaan rakyat Indonesia akibat tanam paksa. Ia sering melancarkan kecaman terhadap pelaksanaan tanam paksa. Setelah pulang ke Negeri Belanda dan terpilih sebagai anggota parlemen, ia semakin gigih berjuang dan menuntut agar tanam paksa dihapuskan.

3. Eduard Douwes Dekker
Ia adalah seorang pejabat Belanda yang pernah menjadi Asisten Residen (Banten). Ia cinta kepada penduduk pribumi, khususnya yang menderita akibat tanam paksa. Dengan nama samaran Multatuli yang berarti “aku telah banyak menderita”, ditulisnya buku Max Havelaar atau Lelang Kopi Persekutuan Dagang Belanda (1859) yang menggambarkan penderitaan rakyat akibat tanam paksa dalam kisah Saijah dan Adinda.
Akibat adanya reaksi tersebut, pemerintah Belanda secara berangsurangsur menghapuskan sistem tanam paksa. Nila, teh, kayu manis dihapuskan pada tahun 1865, tembakau tahun 1866, kemudian menyusul tebu tahun 1884. Tanaman terakhir yang dihapus adalah kopi pada tahun 1917 karena paling banyak memberikan keuntungan.
Pendidikan
Gabung dalam percakapan
Posting Komentar
komentar teratas
Terbaru dulu
Daftar Isi
Tautan berhasil disalin.